Pengantar Sistem Pertahanan Keamanan Negara Indonesia

A. SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, KHUSUSNYA DI BIDANG PERTAHANAN-KEAMANAN SEJAK TAHUN 1945

Penentuan sistem Pertahanan-Keamanan suatu negara dilakukan berdasarkan 3 kemungkinan/cara berikut ini.
1. Peniruan dari sistem pertahanan keamanan bangsa lain. Cara ini biasanya dilakukan oleh negara-negara yang menerima kemerdekaannya dari negara-negara yang telah menjajahnya dan hal ini mungkin kurang sesuai dengan situasi dan kondisi negara-negara yang bersangkutan
2. Pemilihan secara kebetulan dengan kemungkinan-kemungkinan kurang sesuai dengan keadaan sebenarnya dari negara dan bangsa yang memilihnya.
3. Usaha suatu bangsa di bidang pertahanan keamanan berdasarkan falsafah, identitas, kondisi lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan kondisi yang mengancam keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa tersebut. Penentuan sistem ini yang dapat dikatakan yang paling tepat karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa yang bersangkutan.

1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut dengan invasi, ialah ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh dari dua kurun waktu.
a. Kurun waktu 19451947
Pada bulan SeptemberOktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement, Tentara Pendudukan Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di kota-kota besar di seluruh Indonesia (Banjarmasin, Ujung Pandang, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan).
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara Jepang (RAPWI = Repatriation Allied Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan unsur-unsur alat penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies Civiel Affrairs) dan akhirnya mendapatkan perlawanan patriotis dari bangsa Indonesia.
b. Kurun waktu 19481949
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda mendapat kesempatan untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada serangan Belanda yang lalu maka Indonesia pun mengadakan persiapan-persiapan menghadapi segala kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil dan kesatuan-kesatuan teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI (Jenderal Sudirman) pada tanggal 9 November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan serangan terhadap ibu kota RI yang selanjutnya kita kenal dengan Perang Kemerdekaan II. Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa menteri. Setelah itu dilakukan perlawananan melalui Serangan Umum.  Sasaran-sasaran yang telah dicapai di dalam Serangan Umum ini ialah berikut ini.
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia internasional.
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu kota RI masih tetap dipertahankan sehingga memberikan semangat yang lebih tinggi kepada semua pasukan.

2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa Madiun tanggal 18 September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi Belanda. Kemudian menyusul peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi tahun 1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di mana-mana.
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional (sesuai dengan konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan menggunakan keadaan wilayah sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan angkatan bersenjata yang sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI dan rakyat.
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap memberi inspirasi serta sekaligus mahir mengelola sumber-sumber kekuatan.

B. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PERTAHANAN-KEAMANAN

Faktor-faktor tetap yang mempengaruhi suatu sistem pertahanan-keamanan adalah faktor lingkungan yang terdiri dari faktor geografi, sumber alam, dan demografi.

C. HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA RI

Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara yang dilandasi asas:
a. keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri;
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan selalu diusahakan dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang mengandung pengertian tidak agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian sedini mungkin mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan.

Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
Sishankamrata adalah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang komponennya terdiri dari seluruh potensi, kemampuan, dan kekuatan nasional untuk mewujudkan kemampuan dalam upaya pertahanan dan keamanan negara (tujuan Hankamneg) dalam mencapai tujuan nasional.
Sishankamrata bersifat semesta dalam konsep, semesta dalam ruang lingkup dan semesta dalam pelaksanaannya. Komponen kekuatannya terdiri dari berikut ini.
1. Komponen dasar, yaitu rakyat terlatih.
2. Komponen utama, yaitu ABRI dan cadangan TNI.
3. Komponen Perlindungan Masyarakat (Linmas).
4. Komponen pendukung, yaitu sumber daya dan prasarana nasional.

Pengalaman penyelenggaraan hankam menghasilkan berbagai doktrin pertahanan dan keamanan, yaitu doktrin perang gerilya rakyat semesta, doktrin perang wilayah, doktrin perang rakyat semesta dan doktrin pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sasaran operasi Hankamnas, yaitu mencegah dan menghancurkan serangan terbuka, menjamin penguasaan dan pembinaan wilayah nasional RI dan ikut serta memelihara kemampuan hankam Asia Tenggara bebas dari campur tangan asing.
Pola operasi Hankamrata, yaitu operasi pertahanan, operasi keamanan dalam negeri, operasi intelijen strategis dan pola operasi kerja sama pertahanan dan keamanan Asia Tenggara. Pola operasi pertahanan bertujuan untuk menggagalkan serangan dan ancaman nyata dari kekuatan perang musuh. Pola operasi keamanan dalam negeri bertujuan untuk memelihara atau mengembalikan kekuatan pemerintah/negara RI pada salah satu atau beberapa daerah (bagian wilayah) negara yang terganggu keamanannya.
Pola operasi intelijen strategis (Intelstrat) bertujuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan strategi nasional dan operasi-operasi Hankam, menghancurkan sumber-sumber infiltrasi, subversi, dan spionase yang terdapat di wilayah musuh, dan mengadakan perang urat syaraf dan kegiatan-kegiatan tertutup lainnya untuk mewujudkan kondisi-kondisi strategis yang menguntungkan.
Pola operasi kerja sama, yaitu usaha bersama kemungkinan gangguan keamanan stabilitas nasional dan perdamaian khususnya di Asia Tenggara.

Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan tanggung jawab (hak, kewajiban, dan kehormatan) setiap warga negara dan bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan kesadaran, dan partisipasi setiap warga negara dalam upaya bela negara.
Persepsi tentang bela negara dihadapkan kepada tantangan/ancaman yang dihadapi secara kontekstual dalam periode waktu tertentu. Pada periode tahun 19451949 bela negara dipersepsikan identik dengan perang kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa wujud partisipasi warga negara dalam pembelaan negara adalah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik secara bersenjata maupun tidak bersenjata.
Pada periode 19501965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan dan keamanan yang dilaksanakan melalui komponen-komponen hankam, seperti ABRI, HANSIP, PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan dengan kondisi tantangan dan ancaman yang kita hadapi pada periode itu, yaitu menghadapi pemberontakan di dalam negeri, peperangan Trikora, membebaskan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.
Pada periode Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas daripada periode sebelumnya. ATHG tersebut dapat muncul dari segenap aspek kehidupan bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Oleh karena itu, dalam konteks ini bela negara dapat dilakukan dalam bidang-bidang kehidupan nasional tersebut dalam upaya mencapai tujuan nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini, bela negara dapat dikatakan pula sebagai partisipasi warga negara dalam menciptakan dan membangun tannas di segenap aspek kehidupan bangsa.
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan merupakan pengertian atau penafsiran yang cukup luas (segala aspek kehidupan bangsa). Dalam pengertian yang lebih sempit diartikan sebagai upaya pertahanan dan keamanan yang dilandasi oleh dasar negara Pancasila, UUD 1945 (Pasal 30 ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 tentang Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dilakukan melalui pemberian kesadaran bela negara yang dilakukan sejak dini di sekolah dasar dan berlanjut sampai perguruan tinggi dan di luar sekolah melalui kegiatan pramuka dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Di sekolah dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang diintegrasikan ke dalam kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah, sedangkan di pendidikan tinggi diwujudkan dalam mata kuliah Kewiraan (sekarang Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wujud bela negara dibakukan dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI, Cadangan ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang merupakan komponen khusus dalam Pertahanan dan Keamanan Negara.

Politik serta Strategi Pertahanan dan Keamanan
Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai kekuatan sosial politik.
Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamik di segenap aspek kehidupan bangsa dalam rangka memantapkan tannas untuk mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Pancasila.
Lahirnya ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman sejarah itu mengakibatkan bagaimana ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat revolusi dan alat negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk memberikan jasanya kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh kondisi internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan strategik internasional.
Pada tahun 19481949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-pemimpin politik ditangkap Belanda, peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun 19571959 ketika pemimpin politik sipil juga tidak mampu mengatasi pemberontakan daerah, ABRI tampil menyelamatkan negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan sipil gagal menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis, lagi-lagi ABRI tampil di depan menyelamatkan Republik ini. Secara historis dan budaya dwi fungsi ABRI dapat diterima oleh rakyat Indonesia kendatipun harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Peran serta politik tersebut semakin besar setelah penumpasan G 30 S/PKI sehingga memungkinkan ABRI turut menentukan kebijaksanaan nasional dalam pembangunan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI ke dalam berbagai bidang; lembaga pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun demikian tidak berarti militer menggantikan peranan sipil. Perluasan peran biasanya pada posisi-posisi kunci dengan cara penempatan (kekaryaan) dan yang diminta oleh lembaga instansi terkait, serta dengan memperhatikan perkembangan pembangunan dan kehidupan bangsa.
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat menimbulkan silang pendapat yang menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI (fungsi sospol) di masa depan.
Aktualisasi dwi fungsi ABRI di masa depan ini akan efektif apabila ada keseimbangan kepentingan, yaitu keharmonisan antara kepentingan militer dan kepentingan sipil. Konsensus selalu dapat dibuat atas dasar tidak satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan terhadap golongan lain harus dihindari, kearifan harus ditumbuhkan agar konflik internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu tannas.
Runtuhnya rezim orde baru diganti dengan orde reformasi mengeliminasi peran TNI (militer) dalam negara secara bertahap. TNI diharapkan menjadi kekuatan, pertahanan yang profesional sebagaimana layaknya kekuatan pertahanan di negara-negara yang sudah maju untuk itu segala keperluannya harus didukung oleh pemerintah dan pengelolaan yang profesional.

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

A. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1.  Perbedaan Konsep

Ada yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan
terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya. Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan “nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi, negara federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut.
Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini agaknya menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4    ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten - kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural. Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”, di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan kewenangan itu menganut model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan          5 (lima) tahun setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu.
Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi. Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar), apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah. Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa pertentangan. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi, dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah. Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI


Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma baru seperti Post Bureaucratic

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT


Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. KESALAHAN STRATEGI

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal. Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
Jika dikaji UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model, yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.Dalam hubungan ini, seperti dikatakan Moh. Hatta, bahwa “memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.


II. GOOD GOVERNANCE KUNCI MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH


Dalam pelaksanaan “otonomi daerah”, salah satu kelemahan yang dihadapi adalah standar penilaian kinerja pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means) daripada tujuan (ends). Seharusnya di era otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil akhir atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat Gaebler dan Osborne 1992). Pada saat ini tuntutan akan terselenggaranya good governance semakin mendesak untuk diakomodasikan dalam standar penilaian kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi daerah nilai good governance dapat diketahui sebagai kunci utama karena nilai-nilai terkandung dalam menekankan.
1. Visi Strategis
    Apakah Kabupaten/Kota memiliki visi, misi yang jelas.
2.  Transparansi
    Apakah pemerintahan kabupaten/kota menyediakan informasi ke publik  secara terbuka sehingga publik dapat mempertanyakan mengapa suatu keputusan dibuat, apa kriteria yang digunakan sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol, memonitor kinerja lembaga-lembaga publik.
3.  Responsivitas
Apakah pemerintah kabupaten atau kota dapat tanggap terhadap masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani.
4.  Keadilan
Apakah pemerintah kabupaten/kota telah memberikan semua orang kesempatan yang sama dalam meningkatkan atau memperbaiki kesejahteraannya.
5.  Konsensus
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapai persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat.
6.  Efektivitas dan Efisiensi
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang baik atau melalui manajemen sektor publik yang efektif dan efisien.
7.  Akuntabilitas
Pemerintahan kabupaten atau kota harus bertanggung jawab kepada publik dalam konteks kinerja lembaga dan aparat yang baik dalam bidang manajemen, organisasi maupun dalam ”kebijakan publik”.
8.  Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi dan berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depannya.
9.  Penegakan Hukum
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah menciptakan aturan dan menegakkan hukum yang membentuk situasi dan kondisi yang aman dan tertib serta kondusif bagi masyarakat.
10. Demokrasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong proses demokrasi di masyarakat.
11. Kerja sama dengan organisasi masyarakat
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang ada dalam memecahkan masalah-masalah dan pelayanan kepada publik.
12. Komitmen pada pasar
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada lingkungan
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota memperhatikan masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah mengembangkan dan membudayakan unit-unit kelembagaan lokal agar dapat mengambil kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal.

Apabila nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Kabupaten atau kota maka otonomi daerah yang ideal dapat terwujud. Untuk dapat segera mewujudkan hal itu maka perlu adanya perubahan pola pikir sikap dan pola tindak para birokrat kita yang sudah lama bercokol dari orientasi birokrasi lama ke orientasi birokrasi baru seperti diungkapkan dalam good governance.

III. CAPACITY BUILDING SEBAGAI AKSELERATOR  GOOD GOVERNANCE  UTK MEWUJUDKAN DAERAH OTONOM
Langkah awal pemberian otonomi daerah yang harus dilakukan adalah capacity building sebagaimana direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintah daerah Dengan Capacity Building ini dapat mempercepat terwujudnya good governance di era otonomi daerah

A. PENGERITAN CAPACITY BUILDING

Capacity Building untuk pemerintahan didefinisikan sebagai serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan atau lingkungan. Dalam definisi ini capacity building terkandung upaya-upaya untuk melakukan perbaikan kualitas sumber daya manusia, mendorong organisasi agar berfungsi lebih baik, dan merubah konteks lingkungan yang dibutuhkan organisasi dan individu SDM agar dapat berfungsi dengan baik.
Berdasarkan pemahaman terhadap literatur tersebut maka untuk mewujudkan suatu otonomi  daerah  pada  saat  sekarang diperlukan persiapan yang berkenaan dengan (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintahan daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintahan daerah,    (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintahan daerah, (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintahan daerah, (6) perbaikan budaya organisasi  pemerintahan  daerah, (7) peningkatan SDM aparat pemerintahan daerah, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antarkabupaten dan kota, dan dengan pihak lain, dan      (9) pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan lingkungan pemerintahan daerah yang kondusif kesatuan dari sebuah sistem, yang kalau dibenahi yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif).

B. ELEMEN-ELEMEN CAPACITY BUILDING


Pengembangan Visi dan Misi daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai ke mana suatu kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Karena itu, bidang-bidang strategis apa yang dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai visi tersebut juga tidak jelas. Untuk itu, diperlukan pada saat ini adalah pengembangan          (1) Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan (2) Rencana Strategis Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan. Bidang-bidang strategis yang harus dikembangkan dalam Rencana Strategis tersebut sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan yang perlu dikembangkan (dalam program, proyek dan kegiatan-kegiatan), tipe dan jumlah serta kualitas institusi-institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat keterampilan manajerial skills yang diperlukan termasuk tipe kepemimpinan, dan sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis yang telah dirumuskan dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, yang perlu dilakukan dalam pengembangan kelembagaan, meliputi (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan organisasi, (3) pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya organisasi.
Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis tersebut juga seharusnya menentukan jenis, jumlah dan kualitas SDM yang dibutuhkan di daerah khususnya pada lembaga pemerintahan kabupaten/kota. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan strategis daerah, bahkan terkesan kurang memberikan kontribusi bagi pemerintahan daerah itu sendiri. Dalam konteks SDM ini perlu difokuskan pengembangan  (1) keterampilan dan keahlian, (2) wawasan dan pengetahuan, (3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif bekerja, dan (5) moral dan etos kerjanya.
Pengembangan Network Pemerintahan. Rencana Strategis telah memberikan arah pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah. Dalam melakukan berbagai pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu, harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain dan tidak harus dengan pemerintah pusat sebagaimana selama ini terjadi. Seharusnya di masa mendatang daerah diberi kebebasan untuk belajar dari atau saling belajar dengan (1) kabupaten atau kota yang lain baik dari dalam maupun dari luar negeri, (2) lembaga-lembaga vertikal yang ada, dan (3) pusat-pusat pengembangan seperti perguruan tinggi dan LSM yang sesuai dengan kebutuhan mereka, melalui suatu ”jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah.
Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan. Di samping semua perbaikan dan peningkatan tersebut, pemerintahan daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dapat dimanfaatkan untuk berbuat yang terbaik bagi daerah. Di sini daerah harus mengupayakan (1) pemanfaatan lingkungan fisik dan nonfisiknya secara optimal dan bertanggung jawab, (2) pemanfaatan peraturan perundangan lebih tinggi dan (3) penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di daerah. Peraturan perundangan yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Dalam konteks ini, daerah harus memelihara, melanggengkan dan memanfaatkan lingkungannya agar masyarakat merasa aman sementara ia dapat bekerja memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.. Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki tersebut harus dilihat sebagai satu.

Konflik dan Perang

Dalam sejarah manusia mendambakan dunia yang aman, damai, dan sejahtera. Setiap berakhirnya perang besar, dilakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya perang baru. Liga Bangsa-bangsa didirikan setelah Perang Dunia I, untuk menjaga perdamaian. Akan tetapi, situasi damai di Eropa hanya bertahan selama 20 tahun, kemudian disusul oleh perang yang lebih dahsyat lagi yaitu Perang Dunia II.
Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu terjadi peperangan dan sengketa bersenjata lainnya. Setelah Perang Dunia II selesai didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun perang tidak pernah berhasil dihapus. Selama dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80 negara terlibat dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di antaranya 58 negara di dunia ketiga (negara sedang berkembang/miskin) dengan perincian 29 negara tersebut terlibat dalam perang saudara (Civil War) dan 24 negara dalam perang antarnegara (seperti Burkina Faso - Mali 1986; Iran - Irak 19801988; Equador - Peru 19811983; Etiopia - Somalia 19771978; Irak - Kuwait 1990; Libya - Tunisia 1980; Syria - Libanon 1976; Kampuchea - Vietnam 19791991). Malahan pada saat ini masih berkecamuk perang di Kamboja, Konggo; Somali, Sudan, Bosnia. Belum lagi gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa bersenjata dalam negeri lainnya, bahkan juga di negara industri maju, seperti di Irlandia Utara, daerah Basque.
Mengutip Ivan S. Block (The Future War) yang menulis bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861 SM, suatu kurun waktu selama 3357 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap 1 tahun damai terdapat 13 tahun perang. Melihat sejarah manusia itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia adalah sejarah kekerasan bersenjata. Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan keadaan damai malah menjadi keadaan yang tidak normal. Situasi damai hanya berlangsung selama terdapat suatu tata dunia yang cukup tegar dan efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kemampuan memberikan ganjaran setimpal atau lebih keras terhadap negara/ kekuatan yang melakukan perang/kekerasan militer.
Menurut Quincy Wright (1941)  dalam bukunya A Study of War  Volume 1, menyatakan, penyebab perang (The Problem of War), yakni berikut ini.
1. Dunia yang mengerut (The Shrinking of the world)
Diakibatkan oleh kemajuan teknologi transportasi. Komunikasi antarmanusia menjadi lebih cepat dan manusia menjadi saling tergantung dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik. Orang menjadi lebih siaga menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya peperangan.
2. Percepatan jalannya sejarah (The acceleration of history)
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi menyebabkan ide dan pendapat umum/opini mempercepat perubahan sosial.
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang (The progress of military invention)
Akibat kemajuan teknik persenjataan, perang menjadi total sasaran penghancuran tidak hanya instalasi militer, tetapi semua yang ada di wilayah negara.
4. Peningkatan demokrasi (The rise of democracy)
Peningkatan komunikasi, kecerdasan manusia, dan standar hidup menyebabkan kesadaran berbangsa dan bernegara meningkat.

Dalam kajian sejarah, konflik/peperangan banyak dipicu oleh masalah-masalah perekonomian dan klaim teritorial, yang berkembang ke masalah-masalah yang lebih luas. Henry E. Eccles membuat Spektrum konflik. Spektrum konflik yang bersifat dapat dikendalikan atau terkendali, yaitu dari nomor 110. Dari nomor 1114 bersifat tidak terkendali. Kedudukan/status antara 111, dikatakan damai secara teknis, 610 dinamakan perang dingin, 914, dinamakan perang panas, 414, perang ekonomi.
Kondisi umum 12, dikatakan damai absolut, 35 damai relatif, 68 peningkatan ketegangan, 911, perang terbatas, dan 1214 perang tak terbatas.

A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu persengketaan yang terjadi antarbangsa dari persengketaan yang terjadi di dalam negeri.

1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat kepentingan nasional, kebudayaan, dan penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan masyarakat lingkungannya maupun antara golongan masyarakat itu sendiri bertemu bermacam-macam kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat. Perbedaan atau pertentangan pendapat dapat menimbulkan persengketaan, apabila perbedaan atau pertentangan tersebut mengakibatkan pihak-pihak yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat mereka berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat diselesaikan melalui dialog, diskusi, seminar atau musyawarah untuk mencapai mufakat atau setidak-tidaknya konsensus, sebagai usaha meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan buntu maka diadakan usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum.
Perbedaan atau pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar yang pada umumnya menyangkut dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara, biasanya sulit dipertemukan. Persengketaan tentang hal ini dapat berjalan tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi” almarhum Mahatma Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan tentang dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan kekerasan senjata, misalnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,

B. HAKIKAT PERANG DAN PERANG DEWASA INI

1. Hakikat Perang
Perang menurut Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain; pada hakikatnya perang adalah pertarungan antara dua kekuatan atau lebih yang saling bertentangan dengan menggunakan kekerasan bersenjata. Perang pada dewasa ini tidak lagi merupakan persoalan bagi pimpinan dan ahli-ahli perang saja, tetapi sudah menjadi persoalan seluruh rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh umat manusia. Adapun sebab-sebabnya adalah berikut ini.
a. Perubahan dalam sistem nilai dan moral.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata mutakhir.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, mempererat hubungan antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan.
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “suatu negara ingin hidup damai maka ia harus mempersiapkan diri untuk berperang” (sivis pacem para bellum). Kesiapan untuk berperang dapat merupakan faktor pencegah (deterrent factor) terhadap usaha perang atau keinginan untuk berperang dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya konsep keseimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering merupakan dasar dari pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari luar negeri

C. PERANG PEMBEBASAN NASIONAL

Perang pembebasan nasional ditimbulkan dan berkembang melalui kegiatan pemberontakan yang pada tingkatnya didahului oleh tindakan subversi.