A. SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, KHUSUSNYA DI BIDANG PERTAHANAN-KEAMANAN SEJAK TAHUN 1945
Penentuan sistem Pertahanan-Keamanan suatu negara dilakukan berdasarkan 3 kemungkinan/cara berikut ini.
1. Peniruan dari sistem pertahanan keamanan bangsa lain. Cara ini
biasanya dilakukan oleh negara-negara yang menerima kemerdekaannya dari
negara-negara yang telah menjajahnya dan hal ini mungkin kurang sesuai
dengan situasi dan kondisi negara-negara yang bersangkutan
2. Pemilihan secara kebetulan dengan kemungkinan-kemungkinan kurang
sesuai dengan keadaan sebenarnya dari negara dan bangsa yang memilihnya.
3. Usaha suatu bangsa di bidang pertahanan keamanan berdasarkan
falsafah, identitas, kondisi lingkungan, dan kemungkinan-kemungkinan
kondisi yang mengancam keselamatan dan kelangsungan hidup bangsa
tersebut. Penentuan sistem ini yang dapat dikatakan yang paling tepat
karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa yang bersangkutan.
1. Pengalaman menanggulangi ancaman dari luar atau yang lazim disebut
dengan invasi, ialah ancaman dari pihak Belanda yang ingin menjajah
Indonesia kembali. Pengalaman itu diperoleh dari dua kurun waktu.
a. Kurun waktu 19451947
Pada bulan SeptemberOktober 1945 berdasarkan Civil Affair Agreement,
Tentara Pendudukan Sekutu (Inggris) mendaratkan pasukan-pasukannya di
kota-kota besar di seluruh Indonesia (Banjarmasin, Ujung Pandang,
Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan).
Tugas pendudukan tentara sekutu tersebut ialah:
1) Melucuti bala tentara Jepang yang telah kalah perang dan telah menyerah.
2) Mengurus pengembalian tawanan perang sekutu yang ditawan oleh tentara
Jepang (RAPWI = Repatriation Allied Prisoners of War and Interness).
3) Mengamankan pelaksanaan kedua tugas tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menyelundupkan
unsur-unsur alat penjajah Belanda (NICA: Netherland Indies Civiel
Affrairs) dan akhirnya mendapatkan perlawanan patriotis dari bangsa
Indonesia.
b. Kurun waktu 19481949
Dengan adanya persetujuan Renville maka sekali lagi pihak Belanda
mendapat kesempatan untuk berkonsolidasi dan menyusun kembali
kekuatannya. Berdasarkan pengalaman pada serangan Belanda yang lalu maka
Indonesia pun mengadakan persiapan-persiapan menghadapi segala
kemungkinan, antara lain disusun kesatuan-kesatuan mobil dan
kesatuan-kesatuan teritorial. Di samping itu dikeluarkanlah Perintah
Siasat No. 1 oleh Panglima Besar RI (Jenderal Sudirman) pada tanggal 9
November 1948, yang isinya seperti berikut.
1) Perlawanan tidak secara linier.
2) Adakan bumi hangus.
3) Pembentukan perlawanan dan pemerintahan gerilya.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengadakan serangan terhadap ibu
kota RI yang selanjutnya kita kenal dengan Perang Kemerdekaan II.
Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil
presiden, dan beberapa menteri. Setelah itu dilakukan perlawananan
melalui Serangan Umum. Sasaran-sasaran yang telah dicapai di dalam
Serangan Umum ini ialah berikut ini.
1) Politik, memberi dukungan yang kuat kepada diplomasi RI di Dewan Keamanan PBB/dunia internasional.
2) Militer, menimbulkan kerugian/mematahkan moral pasukan Belanda.
3) Psikologi, rakyat daerah-daerah lain yang berjuang merasa bahwa ibu
kota RI masih tetap dipertahankan sehingga memberikan semangat yang
lebih tinggi kepada semua pasukan.
2. Pengalaman menanggulangi ancaman dari dalam, yang dapat berwujud pemberontakan atau subversi.
Jenis ancaman ini diawali dengan pemberontakan PKI/Muso atau Peristiwa
Madiun tanggal 18 September 1948 pada waktu Indonesia sedang menghadapi
Belanda. Kemudian menyusul peristiwa Darul Islam atau Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo di
Jawa Barat, Kahar Muzakar (1958) di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di
Aceh (1952), peristiwa Andi Azis di Ujung Pandang, Republik Maluku
Selatan (RMS) di Ambon/Seram. Selanjutnya, Pemerintah Revolusioner
RI/Perjuangan Semesta (PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi tahun
1957), dan Pemberontakan G 30 S/PKI (1965).
3. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman-pengalaman perjuangan bersenjata.
a. Keteguhan hati rakyat untuk mempertahankan negara dan bangsa serta melawan musuh di mana-mana.
b. Kemampuan angkatan bersenjata untuk melaksanakan perang konvensional
(sesuai dengan konvensi Jenewa) dan tidak kontroversial serta kemampuan
menggunakan keadaan wilayah sebagai medan sebaik-baiknya.
c. Persatuan dan kerja sama yang seerat-eratnya antara rakyat dan
angkatan bersenjata yang sekarang kita kenal dengan manunggalnya ABRI
dan rakyat.
d. Kepemimpinan yang ulet dan tahan uji di semua tingkatan, yang cakap
memberi inspirasi serta sekaligus mahir mengelola sumber-sumber
kekuatan.
B. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI SISTEM PERTAHANAN-KEAMANAN
Faktor-faktor tetap yang mempengaruhi suatu sistem pertahanan-keamanan
adalah faktor lingkungan yang terdiri dari faktor geografi, sumber alam,
dan demografi.
C. HAKIKAT, DASAR, TUJUAN, DAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA RI
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat
semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan
kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut.
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara yang dilandasi asas:
a. keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri;
b. keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan);
c. tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau kekuatan asing.
3. Pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain akan
selalu diusahakan dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan terakhir
yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang
mengandung pengertian tidak agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam
bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian sedini mungkin
mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap
kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta mempertahankan kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan.
Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)
Sishankamrata adalah suatu sistem pertahanan dan keamanan yang
komponennya terdiri dari seluruh potensi, kemampuan, dan kekuatan
nasional untuk mewujudkan kemampuan dalam upaya pertahanan dan keamanan
negara (tujuan Hankamneg) dalam mencapai tujuan nasional.
Sishankamrata bersifat semesta dalam konsep, semesta dalam ruang lingkup
dan semesta dalam pelaksanaannya. Komponen kekuatannya terdiri dari
berikut ini.
1. Komponen dasar, yaitu rakyat terlatih.
2. Komponen utama, yaitu ABRI dan cadangan TNI.
3. Komponen Perlindungan Masyarakat (Linmas).
4. Komponen pendukung, yaitu sumber daya dan prasarana nasional.
Pengalaman penyelenggaraan hankam menghasilkan berbagai doktrin
pertahanan dan keamanan, yaitu doktrin perang gerilya rakyat semesta,
doktrin perang wilayah, doktrin perang rakyat semesta dan doktrin
pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sasaran operasi Hankamnas, yaitu mencegah dan menghancurkan serangan
terbuka, menjamin penguasaan dan pembinaan wilayah nasional RI dan ikut
serta memelihara kemampuan hankam Asia Tenggara bebas dari campur tangan
asing.
Pola operasi Hankamrata, yaitu operasi pertahanan, operasi keamanan
dalam negeri, operasi intelijen strategis dan pola operasi kerja sama
pertahanan dan keamanan Asia Tenggara. Pola operasi pertahanan bertujuan
untuk menggagalkan serangan dan ancaman nyata dari kekuatan perang
musuh. Pola operasi keamanan dalam negeri bertujuan untuk memelihara
atau mengembalikan kekuatan pemerintah/negara RI pada salah satu atau
beberapa daerah (bagian wilayah) negara yang terganggu keamanannya.
Pola operasi intelijen strategis (Intelstrat) bertujuan untuk memperoleh
informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan strategi nasional dan
operasi-operasi Hankam, menghancurkan sumber-sumber infiltrasi,
subversi, dan spionase yang terdapat di wilayah musuh, dan mengadakan
perang urat syaraf dan kegiatan-kegiatan tertutup lainnya untuk
mewujudkan kondisi-kondisi strategis yang menguntungkan.
Pola operasi kerja sama, yaitu usaha bersama kemungkinan gangguan
keamanan stabilitas nasional dan perdamaian khususnya di Asia Tenggara.
Upaya Penyelenggaraan Bela Negara dalam Kerangka Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta
Kelangsungan hidup bangsa dan negara (national survival) merupakan
tanggung jawab (hak, kewajiban, dan kehormatan) setiap warga negara dan
bangsa. Untuk itu, diperlukan pembinaan kesadaran, dan partisipasi
setiap warga negara dalam upaya bela negara.
Persepsi tentang bela negara dihadapkan kepada tantangan/ancaman yang
dihadapi secara kontekstual dalam periode waktu tertentu. Pada periode
tahun 19451949 bela negara dipersepsikan identik dengan perang
kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa wujud partisipasi warga negara dalam
pembelaan negara adalah keikutsertaan dalam perang kemerdekaan baik
secara bersenjata maupun tidak bersenjata.
Pada periode 19501965, bela negara dipersepsikan identik dengan upaya
pertahanan dan keamanan yang dilaksanakan melalui komponen-komponen
hankam, seperti ABRI, HANSIP, PERLA SUKWAN/ SUKWATI. Hal ini sejalan
dengan kondisi tantangan dan ancaman yang kita hadapi pada periode itu,
yaitu menghadapi pemberontakan di dalam negeri, peperangan Trikora,
membebaskan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dan Dwikora.
Pada periode Orde Baru ATHG yang dihadapi lebih kompleks dan lebih luas
daripada periode sebelumnya. ATHG tersebut dapat muncul dari segenap
aspek kehidupan bangsa (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
hankam). Oleh karena itu, dalam konteks ini bela negara dapat dilakukan
dalam bidang-bidang kehidupan nasional tersebut dalam upaya mencapai
tujuan nasional. Untuk itu, dikembangkan konsepsi tannas. Dalam hal ini,
bela negara dapat dikatakan pula sebagai partisipasi warga negara dalam
menciptakan dan membangun tannas di segenap aspek kehidupan bangsa.
Upaya bela negara sebagaimana dipersepsikan merupakan pengertian atau
penafsiran yang cukup luas (segala aspek kehidupan bangsa). Dalam
pengertian yang lebih sempit diartikan sebagai upaya pertahanan dan
keamanan yang dilandasi oleh dasar negara Pancasila, UUD 1945 (Pasal 30
ayat (1) dan (2)) dan UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara disempurnakan dengan UU No. 3 Tahun 2000 tentang
Pertahanan Negara
Wujud upaya bela negara dilakukan melalui pemberian kesadaran bela
negara yang dilakukan sejak dini di sekolah dasar dan berlanjut sampai
perguruan tinggi dan di luar sekolah melalui kegiatan pramuka dan
organisasi sosial kemasyarakatan.
Di sekolah dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN),
yang diintegrasikan ke dalam kurikulum; Pendidikan dasar dan menengah,
sedangkan di pendidikan tinggi diwujudkan dalam mata kuliah Kewiraan
(sekarang Kewarganegaraan). Di luar Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
wujud bela negara dibakukan dalam bentuk Rakyat Terlatih, ABRI, Cadangan
ABRI, dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang merupakan komponen
khusus dalam Pertahanan dan Keamanan Negara.
Politik serta Strategi Pertahanan dan Keamanan
Dwi fungsi ABRI mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi,
yaitu fungsi sebagai kekuatan Hankam dan fungsi sebagai kekuatan sosial
politik.
Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan
semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta
bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul
tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi
kemerdekaan dan kedaulatannya.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan
dinamik di segenap aspek kehidupan bangsa dalam rangka memantapkan
tannas untuk mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Pancasila.
Lahirnya ABRI sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia berangkat
dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dan
mempertahankan kemerdekaan RI. Pengalaman sejarah itu mengakibatkan
bagaimana ABRI memandang dirinya yakni sebagai alat revolusi dan alat
negara, juga sebagai pejuang yang terpanggil untuk memberikan jasanya
kepada semua aspek kehidupan dan pembangunan bangsa. Keterlibatannya
dalam memerankan fungsi sosial politik ini, didorong oleh kondisi
internal (ABRI) dan kondisi eksternal termasuk lingkungan strategik
internasional.
Pada tahun 19481949 (Agresi Militer Belanda II) pemimpin-pemimpin
politik ditangkap Belanda, peran ABRI menjadi meningkat. Pada tahun
19571959 ketika pemimpin politik sipil juga tidak mampu mengatasi
pemberontakan daerah, ABRI tampil menyelamatkan negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada saat pemberontakan G 30 S/PKI di mana kepemimpinan
sipil gagal menyelamatkan Pancasila dari rongrongan Partai Komunis,
lagi-lagi ABRI tampil di depan menyelamatkan Republik ini. Secara
historis dan budaya dwi fungsi ABRI dapat diterima oleh rakyat Indonesia
kendatipun harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Peran serta politik tersebut semakin besar setelah penumpasan G 30 S/PKI
sehingga memungkinkan ABRI turut menentukan kebijaksanaan nasional
dalam pembangunan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya para perwira ABRI
ke dalam berbagai bidang; lembaga pemerintahan, lembaga legislatif,
lembaga ekonomi kemasyarakatan. Meskipun demikian tidak berarti militer
menggantikan peranan sipil. Perluasan peran biasanya pada posisi-posisi
kunci dengan cara penempatan (kekaryaan) dan yang diminta oleh lembaga
instansi terkait, serta dengan memperhatikan perkembangan pembangunan
dan kehidupan bangsa.
Luasnya penempatan personil militer tersebut pada instansi/lembaga
pemerintahan dan lembaga masyarakat menimbulkan silang pendapat yang
menuntut perlunya aktualisasi dwi fungsi ABRI (fungsi sospol) di masa
depan.
Aktualisasi dwi fungsi ABRI di masa depan ini akan efektif apabila ada
keseimbangan kepentingan, yaitu keharmonisan antara kepentingan militer
dan kepentingan sipil. Konsensus selalu dapat dibuat atas dasar tidak
satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan terhadap
golongan lain harus dihindari, kearifan harus ditumbuhkan agar konflik
internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang
mengganggu tannas.
Runtuhnya rezim orde baru diganti dengan orde reformasi mengeliminasi
peran TNI (militer) dalam negara secara bertahap. TNI diharapkan menjadi
kekuatan, pertahanan yang profesional sebagaimana layaknya kekuatan
pertahanan di negara-negara yang sudah maju untuk itu segala
keperluannya harus didukung oleh pemerintah dan pengelolaan yang
profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar