Dalam sejarah manusia mendambakan dunia yang aman, damai, dan sejahtera.
Setiap berakhirnya perang besar, dilakukan usaha-usaha untuk mencegah
terjadinya perang baru. Liga Bangsa-bangsa didirikan setelah Perang
Dunia I, untuk menjaga perdamaian. Akan tetapi, situasi damai di Eropa
hanya bertahan selama 20 tahun, kemudian disusul oleh perang yang lebih
dahsyat lagi yaitu Perang Dunia II.
Di luar Eropa malahan sudah lebih dahulu terjadi peperangan dan sengketa
bersenjata lainnya. Setelah Perang Dunia II selesai didirikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun perang tidak pernah berhasil
dihapus. Selama dua dasawarsa terakhir saja lebih dari 80 negara
terlibat dalam peperangan dan kekerasan militer lainnya, di antaranya 58
negara di dunia ketiga (negara sedang berkembang/miskin) dengan
perincian 29 negara tersebut terlibat dalam perang saudara (Civil War)
dan 24 negara dalam perang antarnegara (seperti Burkina Faso - Mali
1986; Iran - Irak 19801988; Equador - Peru 19811983; Etiopia - Somalia
19771978; Irak - Kuwait 1990; Libya - Tunisia 1980; Syria - Libanon
1976; Kampuchea - Vietnam 19791991). Malahan pada saat ini masih
berkecamuk perang di Kamboja, Konggo; Somali, Sudan, Bosnia. Belum lagi
gerakan-gerakan terorisme Internasional dan bentuk-bentuk sengketa
bersenjata dalam negeri lainnya, bahkan juga di negara industri maju,
seperti di Irlandia Utara, daerah Basque.
Mengutip Ivan S. Block (The Future War) yang menulis bahwa antara tahun
1496 SM sampai tahun 1861 SM, suatu kurun waktu selama 3357 tahun
terdapat 227 tahun damai dan 3130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk
setiap 1 tahun damai terdapat 13 tahun perang. Melihat sejarah manusia
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah manusia adalah sejarah
kekerasan bersenjata. Bahwa perang adalah keadaan yang normal dan
keadaan damai malah menjadi keadaan yang tidak normal. Situasi damai
hanya berlangsung selama terdapat suatu tata dunia yang cukup tegar dan
efektif untuk menangkal perang, seperti misalnya kemampuan memberikan
ganjaran setimpal atau lebih keras terhadap negara/ kekuatan yang
melakukan perang/kekerasan militer.
Menurut Quincy Wright (1941) dalam bukunya A Study of War Volume 1,
menyatakan, penyebab perang (The Problem of War), yakni berikut ini.
1. Dunia yang mengerut (The Shrinking of the world)
Diakibatkan oleh kemajuan teknologi transportasi. Komunikasi
antarmanusia menjadi lebih cepat dan manusia menjadi saling tergantung
dalam bidang-bidang ekonomi, budaya serta politik. Orang menjadi lebih
siaga menghadapi perang dan mudah terpengaruh akan adanya peperangan.
2. Percepatan jalannya sejarah (The acceleration of history)
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi telekomunikasi menyebabkan ide dan pendapat umum/opini mempercepat perubahan sosial.
3. Pembaruan persenjataan angkatan perang (The progress of military invention)
Akibat kemajuan teknik persenjataan, perang menjadi total sasaran
penghancuran tidak hanya instalasi militer, tetapi semua yang ada di
wilayah negara.
4. Peningkatan demokrasi (The rise of democracy)
Peningkatan komunikasi, kecerdasan manusia, dan standar hidup menyebabkan kesadaran berbangsa dan bernegara meningkat.
Dalam kajian sejarah, konflik/peperangan banyak dipicu oleh
masalah-masalah perekonomian dan klaim teritorial, yang berkembang ke
masalah-masalah yang lebih luas. Henry E. Eccles membuat Spektrum
konflik. Spektrum konflik yang bersifat dapat dikendalikan atau
terkendali, yaitu dari nomor 110. Dari nomor 1114 bersifat tidak
terkendali. Kedudukan/status antara 111, dikatakan damai secara teknis,
610 dinamakan perang dingin, 914, dinamakan perang panas, 414,
perang ekonomi.
Kondisi umum 12, dikatakan damai absolut, 35 damai relatif, 68
peningkatan ketegangan, 911, perang terbatas, dan 1214 perang tak
terbatas.
A. BENTUK-BENTUK PERSENGKETAAN
Persengketaan dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yaitu
persengketaan yang terjadi antarbangsa dari persengketaan yang terjadi
di dalam negeri.
1. Persengketaan Antarbangsa
Tiap-tiap bangsa di dunia mempunyai suatu perangkat kepentingan
nasional, kebudayaan, dan penangkapan/perasaan persepsi terhadap masalah
yang dihadapi. 2. Persengketaan di Dalam Satu Bangsa/Negara
Di dalam interaksi sosial antara orang perorangan, perorangan dengan
masyarakat lingkungannya maupun antara golongan masyarakat itu sendiri
bertemu bermacam-macam kepentingan, kebudayaan, persepsi atau pendapat.
Perbedaan atau pertentangan pendapat dapat menimbulkan persengketaan,
apabila perbedaan atau pertentangan tersebut mengakibatkan pihak-pihak
yang terlibat tidak mampu menerima kondisi lingkungan tempat mereka
berada.
Perbedaan atau pertentangan yang bersifat tidak mendasar dapat
diselesaikan melalui dialog, diskusi, seminar atau musyawarah untuk
mencapai mufakat atau setidak-tidaknya konsensus, sebagai usaha
meniadakan atau menjinakkan maupun meredakan persengketaan. Apabila
penyelesaian perbedaan/pertentangan dengan cara ini menemui jalan buntu
maka diadakan usaha-usaha penyelesaian melalui saluran hukum.
Perbedaan atau pertentangan kepentingan yang bersifat lebih mendasar
yang pada umumnya menyangkut dasar negara, bentuk negara, dan tujuan
negara, biasanya sulit dipertemukan. Persengketaan tentang hal ini dapat
berjalan tanpa kekerasan, misalnya gerakan “swadeshi” almarhum Mahatma
Gandhi di India. Namun, adakalanya persengketaan tentang dasar negara,
bentuk negara, dan tujuan negara terpaksa harus diselesaikan dengan
kekerasan senjata, misalnya Gerakan PKI Muso, gerakan DI TII,
B. HAKIKAT PERANG DAN PERANG DEWASA INI
1. Hakikat Perang
Perang menurut Clausewitz adalah suatu kelanjutan dari politik dengan
cara-cara lain; pada hakikatnya perang adalah pertarungan antara dua
kekuatan atau lebih yang saling bertentangan dengan menggunakan
kekerasan bersenjata. Perang pada dewasa ini tidak lagi merupakan
persoalan bagi pimpinan dan ahli-ahli perang saja, tetapi sudah menjadi
persoalan seluruh rakyat, bahkan juga menyangkut kepentingan seluruh
umat manusia. Adapun sebab-sebabnya adalah berikut ini.
a. Perubahan dalam sistem nilai dan moral.
b. Perkembangan teknologi perang dengan ditemukannya senjata-senjata mutakhir.
c. Tumbuhnya kesadaran nasional dan demokrasi.
d. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, mempererat hubungan antarbangsa tanpa batas.
e. Pengalaman-pengalaman pada masa lampau sebagai akibat peperangan.
Sejarah telah membuktikan bahwa apabila “suatu negara ingin hidup damai
maka ia harus mempersiapkan diri untuk berperang” (sivis pacem para
bellum). Kesiapan untuk berperang dapat merupakan faktor pencegah
(deterrent factor) terhadap usaha perang atau keinginan untuk berperang
dari negara lain. Hal inilah yang mendorong adanya konsep keseimbangan
kekuasaan (balance of power). Konsep keseimbangan kekuasaan sering
merupakan dasar dari pembentukan aliansi-aliansi militer.
1. Masalah internal dan yurisdiksi dalam negeri: prinsip inti dalam hubungan internasional.
2. Prinsip “Masalah dalam Negeri” Mengalami Erosi
Sumber dan pola eskalasi ancaman
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia:
1) Subversi dan Pemberontakan Dalam Negeri
2) Invasi dan subversi dari luar negeri
C. PERANG PEMBEBASAN NASIONAL
Perang pembebasan nasional ditimbulkan dan berkembang melalui kegiatan
pemberontakan yang pada tingkatnya didahului oleh tindakan subversi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar