Istilah demokrasi sudah merupakan kata yang merakyat dan membumi,
sehinga cakupannya menjadi luas dan digunakan bukan saja menunjuk pada
politik praktis melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Misalnya Demokrasi Ekonomi,
Demokrasi Sosial. Pada awalnya, istilah demokrasi ini merupakan kata
yang berasal dari Latin yaitu, “demos” dan “cratein atau cratos” ;
dimana demos berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Intinya rakyat yang berkuasa, atau
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejarah perkembangan demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno
(500 SM – 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M - 1500 M)
dan zaman modern (1500 M – sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan
demokrasi yang kontekstual, sesuai situasi kondisi yang ada pada
zamannya masing-masing. Pada zaman modern istilah demokrasi dirumuskan
oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi didorong oleh menyebarnya
paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis
dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan), Fraternite (Persaudaraan)
dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia timur, Dr. Sun
Yat Sen mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan.
Perkembangan demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum
karena dominan pengaruh hak-hak individu. Negara dan pemerintah tidak
banyak turut campur dalam urusan warganya, kecuali berkaitan dengan
kepentingan umum. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit
memerintah. Negara seperti penjaga malam. Konsep laisses faire laisses
aller berpeluang mandiri, tetapi juga berpeluang menuju penindasan atas
sesama. Wajah baru demokrasi abad XX berangkat dari pengalaman abad
XIX tersebut. Negara dan pemerintah berperan luas. Penjaga malam tidak
hanya bertugas secara pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur
kehidupan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Adapun karakteristik demokrasi universal, antara lain :
(1) kehidupan
masyarakat dimana warganegaranya berperan serta dalam pemerintahan
melalui wakilnya yang dipilih;
(2) pemerintahan yang menjamin
kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ;
(3) pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas;
(4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang sama kepada seluruh
warganegaranya.
Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa fokus wacana
demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity
dan demokrasi sebagai pelembagaan dari kebebasan. Artinya, rakyat yang
menjadi kriteria dasar demokrasi.
Praktik demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan.
Praktik musyawarah mufakat merupakan bagian integral dari demokrasi.
Sejak kemerdekaan Indonesia 1945 sampai tahun 1959 Indonesia
melaksanakan demokrasi parlementer dalam pemerintahan, kemudian
melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 19591965, dan sejak
runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru melaksanakan
demokrasi Pancasila sampai sekarang. Gejala dalam demokrasi parlementer
pemerintahan tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan
pembangunan terhambat. Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan
presiden sebagai pusat kekuasaan dan melemahnya kekuatan partai politik.
Begitu pula dalam demokrasi Pancasila di zaman orde baru dominasi
eksekutif masih tetap kuat ,parlemen seolah olah merupakan subordinasi
dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan sejalan dengan pergantian orde
baru dengan orde reformasi. UU Dasar diamandemen, MPR terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, begitu
juga presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun CICED (1998) sebagai Center for Indonesia Civic Education,
menjabarkan demokrasi sebagai dimensi yang multidimensional, yaitu (a)
secara filosofis, demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; (b) secara
sosiologis sebagai sistem sosial, dan (c) secara psikologis sebagai
wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab, CICED merumuskan
demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan pengaturan urusan
umum atas dasar prinsip : dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima
sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku
dan sikap individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan
dipelihara.
Pilar universal demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri
dari 11 pilar (USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2)
pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan
mayoritas; (4) hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia;
(6) pemilihan yang bebas dan jujur; (7) persamaan di depan hukum; (8)
proses hukum yang wajar; (9) pembatasan pemerintahan secara
konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi, politik dan nilai-nilai
toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat. Sedangkan menurut
Sanusi (1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45 memiliki 10
pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan YME; (2) demokrasi dengan
kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan
pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6)
demokrasipengadilan yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah;
(8) demokrasidengan kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi
Indonesia adalah pilar demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi
Indonesia yang khas tersebut, menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan
oleh Maududi dan kaum muslim sebagai teodemokrasi, yang berarti
demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME, sedangkan demokrasi
universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji dari 3 tradisi
pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu,
antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory;
(3) Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory,
demokrasi diartikan sebagai pemerintahan seluruh warganegara yang
memenuhi syarat kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan
penerapan Roman Law dan popular sovereignity, sehingga demokrasi
diartikan sebagai suatu landasan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Lain lagi dengan Contemporary Doctrine yang menekankan konsep Republican
maka demokrasi disini diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang murni.
Lebih jelas lagi, Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai
formal democracy dan substantive democracy. Dari aspek formal democracy
yang dilihat adalah demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan.
Kemudian dari aspek substantive democracy yang dilihat adalah proses
demokrasi, yang diklasifikasikan dalam empat bentuk demokrasi. Antara
lain : (1) protective democracy menitik beratkan kepada kekuasaan
ekonomi pasar, sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk memajukan
kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara; (2) developmental
democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat mengembangkan
kemampuan dan kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi
demokratis sebagai jalur utama bagi pengembangan diri; (3) equilibrium
democracy atau pluralist democracy menekankan penyeimbangan nilai
partisipasi daan pentingnya apatisme, sebab apatisme di kalangan
mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi demokrasi. Partisipasi
yang intensif dipandang tidak efisien bagi individu yang rasional ; (4)
participatory democracy menekankan bahwa perubahan sosial dan
partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu
sama lain saling memiliki ketergantungan.
Oleh sebab itu perlu diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan
wahananya yaitu pendidikan kewarganegaraan, sebab ethos demokrasi bukan
suatu warisan tetapi sebagai suatu konsep yang harus dipelajari dan
dialami atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya proses
demokrasi tidak hanya merupakan suatu proses yang berkembang pesat di
negara-negara barat yang mayoritas penduduknya beragama kristen seperti
yang telah dipersepsikan oleh Huntington (1991). Tetapi sesungguhnya
proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk di
negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan Voll
(1996) dengan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan,
Malaysia, Aljazair dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11)
kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam
kontek global dinamis dan kedua proses tersebut saling mengisi.
Demokratisasi di dunia muslim menekankan (1) hanya satu kedaulatan yakni
Tuhan, (2) khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakat, (3)
syura sebagai tradisi musyawarah, (4) ij’ma sebagai bentuk persetujuan
dan (5) ijtihad sebagai bentuk penafsiran mandiri. Sehingga proses
demokrasi tidak selalu dapat diukur dari kriteria demokrasi barat tetapi
dilihat secara kontektual menurut perkembangan situasi sosial kultural
setempat.
Menurut Deutsh dan Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan
ekonomi suatu negara ; terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan
persatuan kesatuan bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya
kewarganegaraan. Ketiga faktor tersebut menjadi parameter perkembangan
demokrasi suatu negara, hal ini dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 –
223). Konsep masyarakat madani di Indonesia yang diterjemahkan dari
istilah Civil Society berhubungan erat dengan proses demokratisasi
sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran aktif dari
warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang
benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri
utama masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian
tinggi terhadap negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang
disepakati bersama. Secara kualitatif masyarakat madani Indonesia
ditandai oleh (a) ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b) adanya jaminan hak
azasi manusia, (c) adanya partisipasi luas warga negara dalam
pengambilan keputusan publik dalam berbagai tingkatan, (d) adanya
penegakan rule of law dan (e) adanya pelaksanaan pendidikan
kewarganegaraan. Pendidikan demokrasi dapat dilakukan dalam pendidikan
formal, informal dan non formal, sesuai visi pendidikan demokrasi yaitu
learning democracy, through democracy, and for democracy atau secara
jelas dijabarkan sebagai wahana substantif, pedagogis dan sosio kultural
untuk membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap dan
ketrampilan demokrasi bagi warganegara melalui pengalaman hidup
berdemokrasi. Misi pendidikan demokrasi adalah : (1) memfasilitasi
warganegara untuk mendapatkan berbagai akses dan memakai secara cerdas
berbagai sumber informasi; (2) memfasilitasi warganegara melakukan
kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggungjawab
terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis demokrasi untuk
mendapatkan keyakinan dalam pengambilan keputusan individual ataupun
kelompok. Praksis politik diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip
dan nilai demokrasi yang melibatkan individu dan masyarakat dengan
keseluruhan aspek lingkungannya; (3) memfasilitasi warganegara untuk
memperoleh kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab
dalam praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya. Untuk itu strategi
dasar pendidikan demokrasi adalah pemanfaatan multimedia dan sumber
belajar, kajian interdisipliner, pemecahan masalah sosial, penelitian
sosial, aksi sosial, pembelajaran berbasis portfolio, pembelajaran yang
kukuh atau powerful learning (meaningful, integrative, value-based,
challenging and active). Model pendidikan demokrasi berbasis portfolio
versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran yang menggunakan
tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan
proses berpikir yang didukung sejumlah data yang relevan, yang
melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang dialami
siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Di dalam model ini, ada
simulasi public hearing kemudian dilanjutkan kegiatan refleksi bagi
individu dan keseluruhan siswa untuk merenungkan dampak perjalanan
panjang proses belajar demokrasi bagi perkembangan pribadi siswa sebagai
warganegara. Adapun untuk perguruan tinggi, menurut Udin S. Winataputra
( 2002: 35) model pendidikan demokrasi dikembangkan sesuai paradigma
pendekatan perluasan lingkungan dan meningkatkan tingkat kompetensi
mahasiswa ke higher-order intellectual abilities.. Demikian pengayaan
tentang demokrasi.
Pada dewasa ini, krisis kepemimpinan menjadi salah satu penyebab
kemerosotan pembangunan dan kehidupan sosial politik bangsa-bangsa di
dunia, termasuk Indonesia. Sedemikian besarnya krisis kepercayaan
terhadap pemimpin, telah menyebabkan pergeseran persepsi masyarakat
tentang figur ideal pemimpin bangsanya, contohnya di Amerika Serikat
yang dulu sangat mengidolakan presiden dari kaum kulit putih, kini mulai
melirik dari ras kulit berwarna yang ditandai dengan majunya Obama
sebagai capres. Masyarakat sudah mulai bosan dengan dinamika politik
yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula
bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang kini mulai melirik capres atau
cabup, cagub dari kalangan bukan elit politik yang dianggap rentan
terhadap penyalahgunaan wewenang dan ingkar janji. Lebih-lebih dengan
banykanya kasus KKN yang terkuak pada lembaga-lembaga tinggi negara
seperti DPR, Kejaksaan Agung, Departemen Kehakiman dan lainnya.
Tawuran antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga
merefleksikan kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga,
masyarakat, bangsa and negara. Perhatikan berita di media massa yang
memperlihatkan lemahnya control sosial bahkan di kampus sekalipun,
sehingga tawuran antarmahasiswa sering terjadi yangn dibarengi dengan
tindakan melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum, contohnya
adanya pemakian narkoba dari jenis ganja sampai sabu, kepemilikan
senjata tajam illegal baik dari senjata rakitan sampai yang pabrikan.
Sungguh ironis, terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan
motivasi untuk merdeka dalam diri rakyatnya yang didorong oleh semangat
juang pemuda sebagai trigger nilai juang yang pantang menyerah melakukan
perubahan ke arah kebaikan; sekarang dikotori oleh pikiran divide et
impera akibat perbedaan kelompok dan kepentingan. Padahal jika perbedaan
kelompok dan kepentingan dijadikan kekayaan mental, pemikiran dan
kolaborasi kepentingan yang saling menguatkan and melayani, kehidupan
bermasyarakat, berbangsa and bernegara akan berlangsung indah dan
harmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar